TRAPPED SOULS- MUSEUM OF HUMAN TRAFFICKING
Flavenie Nathania – 315210022
Latar Belakang
The Museum of Life: Proyek “Museum of Life: Coastal Roots” merupakan bagian dari Studio Perancangan 7, berlokasi di Muara Angke, Jakarta Utara, dengan program Kawasan Konservasi Mangrove. Museum ini dirancang sebagai ruang interaktif yang menampilkan keindahan dan keberlanjutan ekosistem mangrove di kawasan pesisir Muara Angke. Proyek ini selesai pada 17 Desember 2024. Tujuannya adalah menjadi pusat edukasi dan konservasi, sekaligus memberikan pengalaman mendalam bagi pengunjung untuk memahami peran penting mangrove dalam melindungi garis pantai, mendukung keanekaragaman hayati, dan menjaga keseimbangan ekologi. Dengan memadukan narasi lokal dan pendekatan ilmiah, museum ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran kolektif untuk melestarikan alam dan menginspirasi kolaborasi menuju masa depan yang lebih hijau.



Konteks
Jakarta Utara merupakan wilayah administratif DKI Jakarta dengan tingkat kemiskinan, permukiman kumuh, dan ketimpangan antara jumlah pencari kerja dan lowongan kerja yang tertinggi, yaitu mencapai selisih 185. Kondisi ini memperkuat potensi terjadinya perdagangan manusia, khususnya di kawasan pesisir yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Sebagai pusat aktivitas pelabuhan dan perikanan, Jakarta Utara menjadi titik transit utama perdagangan manusia, terutama terhadap perempuan dan anak-anak. Letaknya yang strategis dalam jalur ekonomi maritim menjadikan wilayah ini rentan terhadap perdagangan lintas negara, diperparah oleh kompleksitas industri kelautan serta lemahnya pengawasan. Keterbatasan peran pemerintah dan minimnya koordinasi antarnegara turut mempermudah pelaku dalam memindahkan korban secara tersembunyi.

STRATEGI & KONSEP DESIGN
Proyek museum “Trapped Souls” ini menggunakan metode desain naratif (narrative architecture) dengan menerapkan kerangka memory atau cerita pengalaman traumatis dari korban. Pendekatan ini mengadaptasi strategi performative memory serta prinsip trauma-informed design yang bertujuan meminimalisir kemungkinan retraumatisasi terhadap korban. Desain disusun berdasarkan alur pengalaman korban, mulai dari sebelum kejadian, saat kejadian, hingga setelah menjadi korban, yang kemudian diwujudkan dalam tiga fase ruang: “Sebelum menjadi korban”, “Selama menjadi korban”, dan “Setelah menjadi korban.” Tiap fase merepresentasikan kondisi psikologis korban melalui elemen ruang seperti Maze of Promise, Shadow of Fear, hingga Garden of Healing. Pendekatan ini menjadi landasan bagi visi regeneratif yang dituju museum, yaitu menciptakan ruang edukatif yang tidak hanya mengenalkan trauma dan penderitaan korban, tetapi juga mendorong kesadaran kolektif, meningkatkan empati, mengurangi kasus serupa di masa depan, serta meregenerasi pola pikir masyarakat melalui pendekatan edukatif dan afektif. Museum ini bukan sekadar tempat penyimpanan memori, tetapi menjadi ruang pemulihan dan transformasi sosial.


Bangunan museum ini dirancang menyerupai jaring penangkap ikan, menggambarkan nasib para korban yang terperangkap dalam jeratan perdagangan manusia dan terus berusaha untuk membebaskan diri. Di sela-sela jaring itu, terselip secercah harapan dan kebebasan yang samar namun tetap terasa, mencerminkan perjuangan yang belum usai. Dari dalam, pengunjung melihat dunia luar dengan pandangan buram, menghadirkan pengalaman emosional tentang keterjebakan dan ketidakberdayaan. Pada saat yang sama, node atau simpul pada jaring tersebut tidak hanya merepresentasikan titik-titik perjuangan korban, tetapi juga menggambarkan jaringan pelaku yang secara sistematis mencari target untuk dijadikan korban. Ruang dan narasi berpadu untuk menyuarakan kisah para penyintas sekaligus memperlihatkan kompleksitas kejahatan perdagangan manusia.



Keunikan proyek “Trapped Souls” terletak pada penerapan desain naratif berbasis trauma yang menyatukan arsitektur, psikologi, dan aktivisme sosial dalam satu ruang. Melalui pendekatan performative memory dan trauma-informed design, museum ini menghadirkan pengalaman spasial yang merefleksikan perjalanan emosional para korban, dari keterjebakan hingga pemulihan. Wujud bangunan menyerupai jaring penangkap ikan, secara simbolis merepresentasikan dua sisi tragedi: jeratan korban dan jaringan pelaku. Simpul-simpul jaring tidak hanya menggambarkan penderitaan, tetapi juga mengungkap struktur sistemik perdagangan manusia. Kombinasi ruang-ruang seperti Maze of Promise, Shadow of Fear, hingga Garden of Healing menciptakan rangkaian narasi imersif yang membangkitkan empati dan kesadaran kolektif. Museum ini bukan hanya tempat mengenang, melainkan ruang regeneratif yang mendobrak stigma, membangun edukasi, dan mendorong perubahan sosial.

HAL UNIK DARI PROYEK
Keunikan proyek “Trapped Souls” terletak pada penerapan desain naratif berbasis trauma yang menyatukan arsitektur, psikologi, dan aktivisme sosial dalam satu ruang. Melalui pendekatan performative memory dan trauma-informed design, museum ini menghadirkan pengalaman spasial yang merefleksikan perjalanan emosional para korban, dari keterjebakan hingga pemulihan. Wujud bangunan menyerupai jaring penangkap ikan, secara simbolis merepresentasikan dua sisi tragedi: jeratan korban dan jaringan pelaku. Simpul-simpul jaring tidak hanya menggambarkan penderitaan, tetapi juga mengungkap struktur sistemik perdagangan manusia. Kombinasi ruang-ruang seperti Maze of Promise, Shadow of Fear, hingga Garden of Healing menciptakan rangkaian narasi imersif yang membangkitkan empati dan kesadaran kolektif. Museum ini bukan hanya tempat mengenang, melainkan ruang regeneratif yang mendobrak stigma, membangun edukasi, dan mendorong perubahan sosial.






